Makalah ICTY Yugoslavia_Hukum Pidana Internasional | BELAJAR



BAB I
PENDAHULUAN
1.1.            Latar Belakang
Pengadilan Tokyo dan Nuremberg merupakan kenyataan pahit karena pada saat itu pengadilan Tokyo dan Nurmberg belum mampu untuk menuntut pertanggungjawaban pelaku pelanggaran hak asasi manusia berat. Perang saudara di Yugoslavia pada tahun 1991-1993 merupakan perang yang tingkat kejahatannya tinggi. Dalam peperang saudara tersebut terjadinya pembantaian dan pembunuhan massal terhadap penduduk sipil yang melampaui batas kemanusiaan. Ada ribuan korban manusia yag mati, luka, hingga cacat seumur hidup. Peristiwa tersebut terjadi pula pada kurun waktu satu tahun setelah peperangan di Yugoslavia. Tepatnya pada tahun 1994, terjadinya perang saudara penduduk Rwanda antara suku Tutsi dan Hutu.
Kedua peristiwa tersebut tidak hanya mengganggu dan mengancam perdamaian dan keamanan negara yang berperang, namun akan mengganggu dan mengancam keamanan internasional apabila peperangan yang keji tersebut dibiarkan begitu saja. Berdasarkan latar belakang tersebut, Dewan Keamanan PBB sepakat membentuk Mahkamah Pidana Internasional untuk kasus Yugoslavia kemudian disusul dengan dibentuk mahkamah pidana.
Mahkamah Internasional Yugoslavia merupakan mahkamah pertama yang dibentuk oleh PBB pada tahun 1993. Pada tahun sebelumnya, dewan keamanan PBB mengeluarkan resolusi 771 yang menyatakan bahwa mereka yang melakukan atau memerintahkan dilakukannya pelanggaran berat terhadap konvensi jenewa 1949 akan dituntut pertanggung jawabanya secara individu. Kemudian pada bulan Mei 1993 dewan keamanan PBB mengeluarkan resolusi 827 Tahun 1993 berdasarkan Chapter VII Piagam PBB.
Sesuai dengan statute pembentukannya, ICTY berkedudukan di Den Haag, Belanda. ICTY tersebut memiliki yurisdiksi untuk menuntut individu atas pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional, yaitu: pelanggaran berat terhadap konvensi Jenewa 1949 (pasal2), pelanggaran terhadap huku dan kebiasaan perang (pasal3), genoside (pasal4), dan kejahatan terhadap kemanusiaan (pasal5) yang terjadi diwilayah bekas Yugoslavia sejak tahun 1991. 
ICTY terdiri dari 16 orang hakim tetap dan tidak boleh ada dua atau lebih yang berkewarganegaraan sama. Para hakim tersebut terdiri dari inividu-individu yang bermoral tinggi, dan memenuhi klasifikasi oleh negaranya masing-masing. Selain itu, ICTY memiliki organ penting lainnya, yaitu jaksa penuntut sebagai organ independen yang memiliki kewenangan melakukan penyidikan. Menurut pasal 18 ayat 1, Jaksa penuntut umum berinisiatif melakukan penyidikan secara ex-officio atau berdasarkan informasi yang diterimanya dari berbagai sumberkhususnya dari pemerintah dan organ-organ PBB.
ICTY menerapkan asas ne bis in idem, adanya Upaya hukum banding, peninjauan kembali, grasi dan tidak mengenal hukuman mati. ICTY dapat mengambil alih perkara yang diperiksa pengadilan nasional jika:

1        ICTY berpendapat bahwa kejahatan yang diadili masuk yurisdiksi ICTY;
2        Proses pengadilan nasional tidak bebas;
3        Pengadilan nasional digunakan untuk melindungi terdakwa dari tanggungjawab melakukan kejahatan internasional;
4        Terdakwa tidak dituntut secara sungguhsungguh.[1]
Pengadilan Pidana Internasional untuk Bekas Yugoslavia (International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia(ICTY)) adalah sebuah badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang didirikan untuk mengadili para penjahat perang di Yugoslavia. Pengadilan atau tribunal ini berfungsi sebagai sebuah pengadilan ad-hoc yang merdeka dan terletak di Den HaagBelanda. Badan ini didirikan oleh Resolusi 827 dari Dewan Keamanan PBB, yang diluncurkan pada tanggal 25 Mei 1993. Badan ini memiliki yurisdiksi mengenai beberapa bentuk kejahatan yang dilakukan di wilayah mantan negara Yugoslavia semenjak 1991: pelanggaran berat Konvensi Jenewa 1949, pelanggaran undang-undang peranggenosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Badan ini hanya bisa mengadili orang secara pribadi dan bukan organisasi atau pemerintahan. Hukuman maksimum adalah penjara seumur hidup. Beberapa negara telah menanda-tangani perjanjian dengan PBB mengenai pelaksanaan hukuman ini. Vonis terakhir dijatuhkan pada 15 Maret 2004. Badan ini memiliki tujuan untuk mengakhiri semua sidang pada akhir 2008 dan semua kasus banding pada 2010.[2]

1.2.            Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Yurisdiksi Mahkamah?
2.      Seperti Apa Struktur Organisasi Dan Pemeriksaan Perkara Di Hadapan Mahkamah?

BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Yurisdiksi Mahkamah
Mengenai yuridiksi personalnya, Mahkamah hanya berwenang mengadili orang perorangan atau individu-individu saja. Tegasnya adalah orang atau individu yang terlibat sesuai perananya masing-masing dalam peristiwa yang terjadi di bekas Yugoslavia. Hal ini ditegaskan lagi dalam Pasal 6 yang menyatakan, bahwa Mahkamah memiliki yuridiksi atas orang-perorangan atau pribadi alamiah (natural persons) sebagaimana ditentukan dalam Statutanya. Yuridiksi personal ini bersifat individual, maksudnya bahwa orang tersebut bertanggung jawab sebagai individu, tanpa memandang apaapun status atau kedudukannya di dalam Negara bekas Yugoslavia. Apakah sebagai kepala Negara, kepala pemerintah, sebagai pajabat militer ataupun sipil, sebagai atasan ataupun bawahan, sebagai orang yang merencanakan, memerintahkan, melaksanakan, atupun sebagai orang yang bertindak melaksanakan perintah atasnnya. Secara lebih rinci dan limitatif, hal ini ditegaskan dalam Pasal 7 Statuta.
Sedangkan yuridiksi temporalnya adalah peristiwa yang terjadi mulai tanggal 1 Januari 1991 ( Pasal 8) tetapi tidak ditegaskan batas waktu terakhirnya, tegasnya sesampai kapankah waktu terakhir. Tiadanya ketegasan tentang batasan waktu terakhir itu relative sukar untuk menetapkan.meningat peperangan ataupun akibatnya biar saja terus terjadi walupun perang itu sudah dinyatakan berakhir atau boleh jadi masih ada pelaku kejahatan dalam kasus Rwanda tersebut yang melarikan diri dan sedang dalan pencarian yang jika tertangkap akan diadili oleh Mahkamah dengan tidak adanya penetapan batas waktu terakhir,maka Mahkamah tetap akan memiliki yuridikasi temporal atau peristiwa yang merupakan kelanjutan dari perang saudara bekas Yugoslavia tersebut. Jadi, Mahkamah tidak terkait oleh batas waktu terakhir, sehingga Mahkamah lebih fleksibel dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.
Yuridiksi territorial Mahkamah meliputi wilayah bekas Yugoslavia . Secara lebih tegas dinyatakan dalam Pasal 8, bahwa yuridiksi territorial Mahkamah meluas dari wilayah bekas Republik Federasi Yugoslavia, Termasuk permukaan daratnnya, ruang udara, dan perairan territorial. Meskipun sudah ditegaskan batas -batas yuridiksi teritorialnya, dalam praktinya tentu saja ada peristiwa -peristiwa yang terjadi di area yang disebutkan diatas, ada yang meluas ke luar wilayah tersebut, misalnya meluber ke wilayah Negara tetangga di sekatarnya atau zona ekonomi ekslusif ataupun daerah lepas. Ditinjau dari segi tempat atau teritorialnya, peristiwa criminal semacam itu tidak dapat dipisah -pisahkan, ataupun yang terjadi di dalam wilayah dengan yang terjadi diluar wilayahnya, maka semua peristiwa tersebut harus dipandang sebagai satu kesatuan terjadinya. Yakni semuanya dengan terjadi di dalam wilayah bekas Yugoslavia.
Menurut Pasal 1 Statuta, kompetensi Mahkamah adalah atas pelanggaran serius hukum humaniter internasional (perfect voilotions of internasional humanitarian law). Adapun ruang lingkup dari hukum humaniter internasional yang dilanggar tersebut yang menjadi yuridiksi criminal Mahkamah meliputi empat jenis kejahatan, yakni, pelanggaran berat atas Konvensi-konvesi Jenewa 1949 (grave breaches of the Geneva Conventions of 1949) (Pasal 2 Statua). Pelanggaran atas hokum atau kebiasaan perang (violations of law a custom of war) (Pasal 3).genosida (genocide) (Pasal 4) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes agains humanity) (Pasal 5). Pasal-pasal itu juga menegaskan cakupan dari masing -masing kejahatan tersebut.
Selain dari keempat yuridiksi tersebut di atas, ada lagi yurikdisi lainnya, yakni yuridiksi bersama (concurent jurisdiction) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 9 ayat 1 dan 2 yang dimaksudkan dengan yuridiksi bersama seperti ditegaskan dalam Pasal 9 ayat 2 adalah,yuridiksi personal,temporal,teritorial ataupun kriminal terhadap pelanggaran serius atas hukum humaniter internasional yang meliputi empat jenis kejatahan tersebut,di samping tunduk pada yuridiksi Mahkamah juga tunduk pada yuridiksi Mahkamah yang pada lain pihak juga tunduk pada yuridiksi dari pengadilan nasional dari satu atau lebih Negara. Jadi, terjadi semacam pertautan  antara yuridiksi Mahkamah dengan yuridiksi pengadilan nasional dari satu atau lebih Negara.
Jika terjadi hal semacam ini, maka menurut Pasal 9 ayat 2.Mahkamah memiliki proritas utama atas pengadilan-pengadilan nasional  untuk mengadili terkadwa. Persoalnnya, boleh jadi memiliki yuridiksi ,sehingga timbul pertanyaan, bagaimana cara membawa dan mengajukan orang yang bersangkutan ke depan Mahkamah ? Dalam hal ini, menurut Pasal 9 ayat 2, Mahkamah dapat  melakukan permohonan secara formal kepada pengadilan nasional supaya menyerahkan kepada kewenangan Mahkamah sesuai dengan ketentuan Statua maupun Hukum Acara dan Pembuktian dari Mahkamah.
Persoalan akan timbul, jika pengadilan nasional menolak permohonan Mahkamah dan bermaksud akan mengadili sendiri orang yang bersangkutan sesuai dengan hukum nasionalnya.Tidak ada jalan lain bagi Mahkamah, selain dari pada menghormat keputusan dari Negara yang pengadilan akan mengadili sendiri orang tersebut, sebab hal ini merupakan perwujudan kedaulatannya. Mahkamah harus merelakan dan memberikan pengadilan nasional itu sendiri mengadili orang tersebut serta menghormatai putusan yan diambilnya.Sudag barang tentu dengan syarat,yakni,proses peradilan nasional tersebut berlangsung secara fair,adil dan tidak memihak.
Akan tetapi seandainya masayrakat internasional ataupun Mahkamah berpendapat bahwa proses peradilan nasional itu berlangsung secara tidak fair,tidak adil dan berpihak ataupun putusnya tidak memuaskan rasa keadilan masyarakat internasional. Upaya apa yang dapat ditempuh oleh Mahkamah ataupun masyarakat internasional ? Jawaban atas masalah ini,secara tidak langsung dapat dijumpai dalam Pasal 10 ayat 1, 2, dan 3 Statuta yang berkenaan dengan penerapan atas non/ne bis in idem. Menurut Pasal 10 ayat 1, tidak ada seseorang pun dapat diadili di hadapan badan pengadilan nasional atas perbuatannya yang tergolong sebagai pelanggaran serius atas hukum humaniter internasional menurut statuta ini, apabila dia sudah diadili oleh Mahkamah. Ketentuan ini memang  sudah seharusnya seperti ini, sebagai perwujudan dari asas non / ne bis in idem sebagaimana yang sudah umum di kenal.
Yang  justru penting untuk diperhatikan adalah Pasal 10 ayat 2. Sebab ketentuan ini merupakan pengesampingan atas asas non/ne bis in idem. Bahwa seseorang  yang sudah diadili di hadapan badan pengadilan nasionalatasperbuatannya yang merupakan pelanggaran serius atas perbuatannya yang merupakan pelanggaran serius atas hukum humaniter internasional menurt Statuta, sesudahnya dapat diadili di hadapanMahkamah jika :
a)      Kejahatan yang dijadikan dasar untuk mengadilioleh pengadilan nasional suatu Negara yang sebenarnya merupakan pelanggaran serius atas hokum humaniter internasional ternyata kejahatan itu digolongankan sebagai kejahatan biasa: atau
b)      Proses peradilan nasioanl tersebut ternyata berlangsung secara memihak( notimparsial ) atau tidak mandiri ( not independent ), dengan maksud untuk menghindarkan si tertuduh/terdakwa daritanggungjawab criminal internasional.
Akhir Pasal 10 Ayat 3 mengamanatkan kepada Mahkamah dalam menjatuhkan hukuman atas orang yang sudah di adili oleh pengadilan nasional suatu negara sebagaimana Pasal 10 Ayat 2. Adapun amanat tersebut tersebut adalah, dalam mempertimbangkan penjatuhan hukuman terhadap orang yang bersangkutan, Mahkamah seyogyanya memperhitungkan luasnya hukuman yang telah dijatuhkan oleh pengdilan nasional terhadap orang yang bersangkutan dan telah dijalaninya. Sebagai contoh, seseorang yang sudah diadili dan dijatuhi hukuman penjara oleh pengadilan nasional dan hukuman itupun sudah dijalaninya selama beberapa waktu. Kemudian dia di adili lagi oleh Mahkamah, di sebabkan karena alasan seperti tersebut diatas, maka dalam hal ini Mahkamah dalam menjatuhkan hukumannya harus mempertimbangkan dan memperhitungkan masa hukuman yang sudah dijalani nya berdasarkan putusan pengadilan nasional tersebut. [3]

2.2.Struktur Organisasi dan Pemeriksaan Perkara Di Hadapan Mahkamah
Mahkamah terdiri dari 16 orang hakim tetap dan tidak boleh ada dua atau lebih yang berkewarganegaraan dari negara yang sama. Keenam belas hakim tetap tersebut, sembilan orang menjadi anggota Kamar Peradilan (Trial Camber). Kamar Peradilan ini terdiri dari Tiga Kamar Pengadilan. Jadi masing-masing Kamar Pengadilan terdiri dari tiga orang hakim tetap. Sedangkan sisanya, sebanyak tujuh orang hakim tetap tersebut menjadi anggota dari Kamar Banding (Appeal Chamber). Adanya tiga kamar Pengadilan ini yang mengadili perkara pada tingkat pertama, disebabkan karena banyaknya jumlah orang atau individu yang harus di adili.
Para hakim terdiri dari individu-individu yang bermoral tinggi, bersikap tidak memihak, dan memiliki integritas diri yang tinggi, yang telah memenuhi kualifikasi di negaranya masing-masing untuk diangkat sebagai pemegang jabatan pengadilan yang tertinggi. Untuk dapat menduduki jabatan sebagai hakim, individu yang bersangkutan harus memiliki pengalaman sebagai hakim dalam hukum pidana, hukum internasional, termasuk hukum humaniter internasional dan hukum hak asasi manusia (Pasal 3 Statuta).
Selain dari pada Kamar Pengadilan dan Kamar Banding, Makamah juga memiliki organ lain yakni Jaksa Penuntut (Prosecutor) sebagai organ independent yang bertugas dan bertanggung jawab dalam melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap orang-orang yang bertanggung jawab atas pelanggaran serius hukum humaniter internasional yang dilakukan diwilayah bekas Yugoslavia sejak tanggal 1 Januari 1991 (Pasal 16 ayat 1). Jaksa Penuntut akan bertindak secara mandiri terpisah dari organ-organ Mahkamah yang lainnya (Pasal 16 ayat 2). Jaksa penuntut ditunjuk oleh Dewan Keamanan atas nominasi dari sekertaris Jendral PBB. Dia harus memiliki karakter moral yang tinggi, dan harus memiliki kewenangan yang tertinggi dan pengalaman dalam melakukan penyidikan dan penuntutan kasus-kasus kriminal. Jaksa Penuntut diangkat untuk masa jabatan 4 tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali.
Organ lainya adalah kenapiteraan (registry) yang bertanggung jawab dalam masalah-masalah admisnitrasi dan pelayanan bagi Mahkamah. Kepaniteraan terdiri dari seorang Panitera dan dibantu oleh staf sesuai dengan kebutuhanya. Panitera ditunjuk oleh sekertaris Jendral PBB setelah berkonsultasi dengan Ketua Mahkamah untuk masa jabatan empat tahun dan sesudahnya dapat ditunjuk kembali. Sedangkan stafnya ditunjuk oleh Sekertaris Jendral PBB setelah mendapat rekomendasi dari Panitera. Semua ini ditegaskan dalam Pasal 17.
Menurut Pasal 18 ayat 1, jaksa penuntut berinisiatif untuk melakukan penyelidikan secara ex-officio atau berdasarkan atas informasi yang diterimanya dari pelbagai sumber, khususnya dari pemerintah pelbagai negara, organ-organ PBB, organisasi-organisasi antar pemerintah maupun non pemerintah. Jaksa Penuntut juga memiliki kekuasaan untuk mengajukan pertanyaan kepada orang yang dituduh, korban-korban maupun saksi-saksi, demikian juga untuk mengumpulkan alat-alat bukti dan melakukan pemeriksaan ditempat. Dalam melaksanakan tugasnya, Jaksa Penuntut dapat meminta bantuan dari pejabat pemerintah negara yang bersangkutan (Pasal 17 ayat 2).
Apabila dipandang perlu, si terdakwa dapat dibantu oleh suatu tim asistensi atas pilihannya sendiri, temasuk hak untuk mendapat bantuan hukum yang ditunjuk demi kepentingannya tanpa kewajiban untuk membayarnya atau secara cuma-cuma, apabila dia tidak mampu membayarnya sendiri, seperti misalnya penerjemahan dokumen atau informasi-informasi ke dalam bahasa yang dia mengerti (Pasal 17 ayat 3). Apabila Jaksa Penuntut memandang semuanya sudah memadai untuk melakukan penuntutan, maka Jaksa Penuntut akan menyiapkan surat dakwaan yang berisi pernyataan singkat mengenai fakta dan kejahatan dan yang dituduhkan terhadapnya berdasarkan Statuta ini. Surat Dakwaan harus diteruskan kepada hakim dari Kamar Pengadilan.[4]
A.    Pemeriksaan Perkara di Hadapan Kamar Pengadilan
            Hakim Kamar Pengadilan setelah menerima surat dakwaan tersebut dari Penuntut, akan melakukan peninjauan ulang atas surat dakwaan itu. Jika dipandang sudah mencukupi, dia akan menginformasikannya kepada Jaksa Penuntut. Sebaliknya jika dipandang belum mencukupil surat dakwaan itu akan dikesampingkan (dismissed) (Pasal 19 ayat 1). Berdasarkan konfirmasi atas surat dakwaan tersebut, atas dasar permohonan dari Jaksa Penuntut, hakim Kamar Pengadilan mengeluarkan perintah penangkapan, penahanan, penyerahan atau pemindahan orang-orang yang bersangkutan dan tindakan-tindakan lainya yang dibutuhkan dalam rangka melakukan peradilannya (Pasal 19 ayat 2).
Selanjutnya Pasal 20 ayat 1, 2, 3 dan 4 mengatur tentang proses peradilannya sendiri. Menurut ayat 1, Kamar Pengadilan akan menjamin, bahwa peradilan akan berlangsung secara fair dan tidak memihak, dan proses tersebut dilakukan dengan berdasarkan pada peraturan-peraturan hukum acara dan pembuktian, dengan penghormatan sepenuhnya atas hak-hak dari terdakwa serta dengan tetap melindungi para saksi dan korban. Orang-orang yang telah diberitahukan mengenai surat dakwaan tersebut, sesuai dengan surat perintah penangkapan  dan penahanan yang dikeluarkan oleh Mahkamah, harus ditempatkan dalam penjagaan, dan segera harus diberitahukan tuduhan yang didakwakan terhadapnya, dan diserahkan kepada Mahkamah (ayat2). Kamar Pengadilan kemudian membacakan surat dakwaan, dengan terlebih dahulu memeriksa apakah hak-hak terdakwa sudah mengerti isi dakwaan, dan selanjutnya memerintahkan kepadanya untuk menyiapkan pembelaan. Kamar Pengadilan kemudia menetapkan jadwal persidangan (ayat 3). Persidangan berlangsung secara terbuka untuk umum kecuali Kamar Pengadilan memutuskan sidang dilangsungkan secara tertututp sesuai dengan hukum acara dan pembuktian.
Dalam Pasal 21 ditegaskantentanghak-hakdariterdawa.Pada ayat 1 ditegaskan bahwa semua orang (maksudnya :terdakwa, saksi, korban, atau siapapun yang terkait dengan perkara) memiliki hak yang sama di hadapan Mahkamah. Pada ayat2 di tegaskan tentang hak terdakawa bahwa dia ajan di jamin haknya atas peradilan yang fair baikdalam proses peradilan maupun dalam dengar pendapat umum, dengan tetap menghormati ketentuan Pasal 22 yang mengatur tentang perlindungan atas korban dan saksi. Ayat 3 menegaskan tentang haknya untuk dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya dapat dibuktikan sesuai dengan ketentuan dalam Statuta( presumption of innocence )
            Dalam pasal 21 ayat 4, secara rinci ditegaskan tentang jaminan perlakuan yang secara minimum harus dipenuhi bagi terdakwa, dalam kedudukan  yang sepenuhnya sama atau sederajat, yakni :
a)      Jaminan atas informasi yang memadai dan secara ranci dalam bahasa yang dapat dimengertinya mengenai hakikat dan sebab-sebab mengapa dia didakwa.
b)      Jaminan yang berupa waktu dan sarana atau fasilitas yang memadai dan dibutuhkan dalam rangka mempersiapkan pembelaannya dan melakukan komunikasi dengan penasihat hukum yang dipilihnyasendiri.
c)      Jaminan untuk di adili tanpa di  tunda tunda denganalasan yang tidak masuk akal
d)      Jaminan untuk diadili berdasarkan atas kehadirannya sendiri, dan untuk mengajukan pembelaan diri baik oleh dirinya sendiri atau melalui bantuan hokum dari penasihat hukum yang dipilihnya sendiri atau diberikan informasi atau penjelasan atas haknya untukmemperoleh bantuan hokum apabila dia tidak menunjukan sendiri penasihat hukumnya atau dalam suatu kasus yang karena demi keadilan mengharuskanya, dia harus di dampingi oleh penasihat hukum tanpa harus dibayarnya sendiri, jika dia memangti dak memiliki cukup uang untuk membayar sendiri :
e)      Memeriksa saksi-saksi yang memberatkan ataupun meringkasnya berdasarkan persyaratan yang sama antra saksi-saksi yang meringankan ataupun memberatkannya.
f)       Mendapatkan jaminan atas bantuan penerjemah jika dia tidak mengerti atau tidak bisa berbicara dalam bahasa yang digunakan oleh mahkamah dan :
g)      Jaminan untuk tidak dilakukan pemaksaan selama dalam pemeriksaan atau di paksa untuk mengaku bersalah
Dalam pasal 22 diatur tentang perlindungan bagi korban maupun saksi , dengan menyatakan bahwa mahkamah bedasarkan hukum acara dan pembuktianya akan mengatur tentang perlindungan bagi korban maupun saksi. Perlindungan itu termasuk, tetapi tidak terbatas pada, perlakuan dalam pemeriksaan di hadapan pengadilan dan perlindungan atas identitas dari korban
Tentang putusan yang dijatuhkan oleh kamar pengadilan ditegaskan dalam pasal 23 ayat 1 dan 2 yang masing –masing menyatakan, bahwa kamar pengadilan akan mengumumkan putusanya dan menjatuhkan penghukumanya terhadap si terdakwa yang di tuduh sebagai pelaku pelanggaran serius atas hukum humaniter internasional. Putusan akan di ambil berdasarkan saran menyoritas dari para hakim kamar pengadilan dalam sidang yang terbuka untuk umum, putusanya harus disertai dengan argumentasi yang rasional dalam bentuk tertulis sedangkan jika ada hakimnya yang memiliki pendapat yang berbeda ( dissenting opinion ), pendapat nya itu akan dilampirkan dalam putusanya.  
Sedangkan saksi pidana yang dapat dijatuhkan dibatasi pada hukuman kurang (imprisonment). Namun dalam menentukan lamanya masa hukuman, kamar pengadilan harus mengacu pada praktik-praktik yang sudah berlaku umum dan berkenaan dengan penghukuman seorang terdakwa dalam pengadilan di negara bekas Yogaslavia. Kurungan tersebut bisa saja dari yang paling ringan hingga dengan adanya ketentuan ini, secara tersimpul mahkamah menolak jenis jenis hukuman atau sanksi-sanksi pidana yang lainya, seperti denda. Hukuman paksa badan atau hukuman kerja itu secara tersimpul mahkamah juga menolak penerapan hukuman mati yang kini memang sudah ditinggalkan oleh pelbagai negara, khusnya negara negara benua Eropa.
Pada ayat 2 ditegaskan, bahwa kamar pengadilan dalam menjatuhkan hukuman seyogyanya mempertimbangkan faktor- faktor yang meringankan perbuatanya dan keadaan-kedaan sekitar pribadi dari orang yang di hukum tersebut. Selain daripada itu. Dalam penghukuman tersebut. Kamar pengadilan dapat memerintahkan pengembalian atas barang-barang yang berkaitan dengan perkara tersebut kepada yang berhak. Ketentuan ini merupakan ketentuan yang sudah berlaku umum di dalam hukum nasionakl negara-negara di dunia, khusunya sebagimana dapat di jumpai di dalam ketentuan-ketentuan hukum acara pidana dan pembuktian.[5]
B.     Pemeriksaan Perkara Pada Tingkat Banding Di Hadapan Kamar Banding
Jika ada pihak yang tidak puas dan tidak bisa menerima putusan dari kamar pengadilan, apakah ataukah jaksa penuntut dapat mengajukan banding kepada kamar banding. Pasal 25 ayat 1 menegaskan. Kamar banding akan mendengar keterangan dari terdakwa yang telah dijatuhi hukuman oleh kamar pengadilan ataupun jaksa penuntut. Yang berkenaan degan alasan untuk mengajukan banding. Yakni :
·         Adanya kesalahan mengenai masalah hukumnya yang dijadikan sebagai alasan untuk menyatakan bahwa putusan tidak sah
·         Adanya kesalahan mengenai fakta yang mengakibatkan terjadinya kesalahan dari peradilan. Kamar banding dalam mengambil putusanya, dapat menguatkan putusan dari kamar pengadilan, mengubah ataupun memperbaiki putusan dari kamar pengadilan ( ayat 2 ) [6]

C.     Peninjauan Kembali Oleh Mahkamah
Putusan dari kamar banding masih dapat dilakukan pertinjuan kembali oleh mahkamah permohonan untuk melakukan peninjauan kembali secara khusus dapat diajukan baik oleh terdakwa ataupun jaksa penuntut. Adapun alasan untuk melakukan peninjuan kembali adalah, adanya faktor yang sangat menentukan yang sebelumnya tidak diketahui dan karena itu tidak dapat diajukan ketika dalam proses persidangan di hadapan sidang kamar pengadilan ataupun kamar banding. Faktor yang sangat menetukan tersebut adalah faktor yang mempengaruhi putusan yang diambil andaikata faktor tersebut diketahui sebelumnya di ajukan di hadapan sidang kamar pengadilan ataupun kamar bandimg, dapat dipastikan putusanya tidaklah demikian, bahwa justru sebaliknya. Hal ini di atur dalam pasal 26.
Dalam statuta tidak di atur tentang masalah yang lebih bersifat teknis, seperti, bagaimana permohonanya, waktu atau kapan pengajuan peninjuan kembali dapat dilakukan, bagaimana proses pemeriksaan alat bukti yang menjadi faktor yang sangat menetukan tersebut, dan lain lainya. Tidak adanya pengaturan ini dalam statua, dapat diartikan bahwa mahkamah akan mengatur sendiri di dalam hukum acara pembuktianya yang memang kewarganerannya di serahkan sepenuhnya kepada mahkamah.
Dengan adanya tiga tingkatan dalam pemrikdaan perkara dalam mahkamah (kamar pengadilan, kamar banding, dan pertinjuan kembali) akan sangat kecil kemungkinannya mahkamah akan salah atau keliru dalam mengadili seseorang terdakwa. Hal ini sekaligus juga menujukan keadilan bagi terdakwa, bahwwa terdakwa benar benar sudah di priksa perkaranya melalui tingkatan -tingkatan yang pada hakikatnya sebagai kontrol atas organ organya, supaya benar- benar menerapkan hukum yang berlaku secara adil, fair, dan tidak memihak [7]

D.     Pelaksanaan Putusan Mahkamah
Menurut pasal 27, jika mahkamah menjatuhkan putusan yang berupa penghukuman atas terdakwa dan putusan itu sudah memiliki kekuatan mengikat yang pasti, putusan akan dilaksanakan di negara yang ditunjuk oleh mahkamah dari daftar negara negara yang telah menyatakan kesediaanya melaksanakan hukuman yang telah dijatuhkan oleh mahkamah. Negara negara itu ditunjuk oleh dewan keamanan PBB berdasarkan pernyataan kesedianya masing- masing untuk menerima pelaksanaan hukuman di negaranya atas individu-individu yang telah dijatuhi hukuman oleh mahkamah. Namun demikian, negara mana yang di pilih atau ditunjuk oleh mahkamah, mahkamah memiliki kewenangan penuh untuk menentukan negara yang di maksud, sudah tentu dengan mempertimbangkan berbagai faktor, misalnya. Orang yang bersangkutan akan lenih baik untuk melaksanakan hukumanya di negara yang bertetangga dengan negara asalnya untuk menjenguknya, atau dengan mempertimbangkan dari sisi aspek sosial budanya, seperti bahasa kebudayaan dari si terhukum dengan bahasa dan kebudayaan dari negara yang akan melaksanakan hukumanya, misalnya akan lebih baik jika negara adalah negara yang bahasa dan budayanya sama atau mendekati dengan bahasa danb buaya si terhukum. Pelaksanaan hukuman dari negara yang bersangkutan. Meskipun pelaksanaan hukumanya di suatu negara namun mahkamah tetap akan melakukan pengawasan atas pelaksanaan hukumanya itu. [8]




BAB III
KESIMPULAN

Yuridiksi Mahkamah hanya berwenang mengadili orang perorangan atau individu -individu. Maksudnya adalah orang atau individu yang terlibat sesuai perananya masing masing dalam peristiwa yang terjadi di bekas Yugoslavia. Hal ini ditegaskan lagi dalam Pasal 6 yang menyatakan, bahwa Mahkamah memiliki yuridiksi atas orang-perorangan atau pribadi alamiah (natural persons) sebagaimana ditentukan dalam Statutanya. Yuridiksi personal ini bersifat individual, maksudnya bahwa orang tersebut bertanggung jawab sebagai individu, tanpa memandang apa apun status atau kedudukannya di dalam Negara bekas Yugoslavia. Sedangkan yuridiksi temporalnya adalah peristiwa yang terjadi mulai tanggal 1 Januari 1991 ( Pasal 8) tetapitidak ditegaskan batas waktu terakhirnya, tegasnya sesampai kapankah waktu terakhir.Y uridiksi territorial Mahkamah meliputi wilayah bekas Yugoslavia .Secara lebih tegas dinyatakan dalam Pasal 8,bahwa yuridiksi territorial Mahkamah meluas dari wilayah bekas Republik Federasi Yugoslavia,Termasuk permukaan daratnnya,ruang udara,dan perairan territorial.
Menurut Pasal 1 Statuta, kompetensi Mahkamah adalah atas pelanggara serius hukum humaniter internasional (perfect voilotions of internasional humanitarian law). Ruang lingkup dari hukum humaniter internasional yang dilanggar tersebut yang menjadi yuridiksi criminal Mahkamah meliputi empat jenis kejahatan, yakni, pelanggaran berat atas Konvensi konvesi Jenewa 1949 (grave breaches of the Geneva Conventions of 1949) (Pasal 2 Statua).Pelanggaran atas hokum atau kebiasaan perang (violations of law a custom of war) (Pasal 3). Genosida (genocide) (Pasal 4) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes agains humanity) (Pasal 5).Pasal-pasal itu juga menegaskan cakupan dari masing masing kejahata tersebut.Selain dari keempat yuridiksi tersebut di atas,ada lagi yurikdisi lainnya,yakni yuridiksi bersama (concurent jurisdiction) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 9 ayat 1 dan 2 yang dimaksudkan dengan yuridiksi bersama seperti ditegaskan dalam Pasal 9 ayat 2 adalah, yuridiksi personal, temporal, teritorial ataupun kriminal terhadap pelanggaran serius atas hukum humaniter internasional yang meliputi empat jenis kejatahan tersebut, di samping tunduk pada yuridiksi Mahkamah juga tunduk pada yuridiksi Mahkamah yang pada lain pihak juga tunduk pada yuridiksi dari pengadilan nasional dari satu atau lebih Negara.
Persoalan akan timbul, jika pengadilan nasional menolak permhonan Mahkamah dan bermaksud akan mengadili sendiri orangyang bersangkutan sesuai dengan hukum nasionalnya. Menurut Pasal 10 ayat 1, 2, dan 3 Statuta yang berkenaan dengan penerapan atas non/ne bis inidem. Menurut Pasal 10 ayat 1, tidak ada seseorang pun dapat diadili di hadapan badan pengadilan nasional atas perbuatannya yang tergolong sebagai pelanggaran serius atas hokum humaniter internasional menurut statuta ini, apabila dia sudah diadili oleh Mahkamah. Ketentuan ini memang sudah seharusnya seperti ini,sebagai perwujudan dari asas non / ne bis in idem seabagaimana yang sudah.
Adapun Struktur Organisasi dan Pemeriksaan Perkara Di Hadapan Mahkamah :
Mahkamah terdiri dari 16 orang hakim tetap dan tidak boleh ada dua atau lebih yang berkewarganegaraan dari negara yang sama. Keenam belas hakim tetap tersebut, sembilan orang menjadi anggota Kamar Peradilan (Trial Camber). Kamar Peradilan ini terdiri dari Tiga Kamar Pengadilan. Jadi masing-masing Kamar Pengadilan terdiri dari tiga orang hakim tetap. Sedangkan sisanya, sebanyak tujuh orang hakim tetap tersebut menjadi anggota dari Kamar Banding (Appeal Chamber). Adanya tiga kamar Pengadilan ini yang mengadili perkara pada tingkat pertama, disebabkan karena banyaknya jumlah orang atau individu yang harus di adili.
Tahapan pemeriksaan Surat dakwaan
A.    Pemeriksaan Perkara di Hadapan Kamar Pengadilan
B.     Pemeriksaan Perkara Pada Tingkat Banding Di Hadapan Kamar Banding
C.     Peninjauan Kembali Oleh Mahkamah
D.    Pelaksanaan Putusan Mahkamah



Daftar Pustaka
Buku-Buku
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional, Yrama Widya, 2015

Internet



[2]https://id.wikipedia.org/wiki/Pengadilan_Pidana_Internasional_untuk_Bekas_Yugoslavia Diakses Hari Rabu Tanggal 7 Desember 2016 Pukul 17:49 Wib
[3] I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional, Yrama Widya, 2015 h 340-344
[4] Ibid h 344-346
[5]Ibid h 346-349
[6] Ibid h 349-350
[7] Ibid h 350-351
[8] Ibid h 351

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sedikit cerita Pengalaman Organisasi

Introducing