Makalah ICTY Yugoslavia_Hukum Pidana Internasional | BELAJAR
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Pengadilan Tokyo dan
Nuremberg merupakan kenyataan pahit karena pada saat itu pengadilan Tokyo dan
Nurmberg belum mampu untuk menuntut pertanggungjawaban pelaku pelanggaran hak
asasi manusia berat. Perang saudara di Yugoslavia pada tahun 1991-1993
merupakan perang yang tingkat kejahatannya tinggi. Dalam peperang saudara
tersebut terjadinya pembantaian dan pembunuhan massal terhadap penduduk sipil
yang melampaui batas kemanusiaan. Ada ribuan korban manusia yag mati, luka,
hingga cacat seumur hidup. Peristiwa tersebut terjadi pula pada kurun waktu
satu tahun setelah peperangan di Yugoslavia. Tepatnya pada tahun 1994,
terjadinya perang saudara penduduk Rwanda antara suku Tutsi dan Hutu.
Kedua
peristiwa tersebut tidak hanya mengganggu dan mengancam perdamaian dan keamanan
negara yang berperang, namun akan mengganggu dan mengancam keamanan
internasional apabila peperangan yang keji tersebut dibiarkan begitu saja.
Berdasarkan latar belakang tersebut, Dewan Keamanan PBB sepakat membentuk
Mahkamah Pidana Internasional untuk kasus Yugoslavia kemudian disusul dengan
dibentuk mahkamah pidana.
Mahkamah
Internasional Yugoslavia merupakan mahkamah pertama yang dibentuk oleh PBB pada
tahun 1993. Pada tahun sebelumnya, dewan keamanan PBB mengeluarkan resolusi 771
yang menyatakan bahwa mereka yang melakukan atau memerintahkan dilakukannya
pelanggaran berat terhadap konvensi jenewa 1949 akan dituntut pertanggung
jawabanya secara individu. Kemudian pada bulan Mei 1993 dewan keamanan PBB mengeluarkan
resolusi 827 Tahun 1993 berdasarkan Chapter VII Piagam PBB.
Sesuai
dengan statute pembentukannya, ICTY berkedudukan di Den Haag, Belanda. ICTY
tersebut memiliki yurisdiksi untuk menuntut individu atas pelanggaran serius
terhadap hukum humaniter internasional, yaitu: pelanggaran berat terhadap
konvensi Jenewa 1949 (pasal2), pelanggaran terhadap huku dan kebiasaan perang
(pasal3), genoside (pasal4), dan kejahatan terhadap kemanusiaan (pasal5) yang
terjadi diwilayah bekas Yugoslavia sejak tahun 1991.
ICTY
terdiri dari 16 orang hakim tetap dan tidak boleh ada dua atau lebih yang
berkewarganegaraan sama. Para hakim tersebut terdiri dari inividu-individu yang
bermoral tinggi, dan memenuhi klasifikasi oleh negaranya masing-masing. Selain
itu, ICTY memiliki organ penting lainnya, yaitu jaksa penuntut sebagai organ
independen yang memiliki kewenangan melakukan penyidikan. Menurut pasal 18 ayat
1, Jaksa penuntut umum berinisiatif melakukan penyidikan secara ex-officio atau
berdasarkan informasi yang diterimanya dari berbagai sumberkhususnya dari
pemerintah dan organ-organ PBB.
ICTY
menerapkan asas ne bis in idem, adanya Upaya hukum banding,
peninjauan kembali, grasi dan tidak mengenal hukuman mati. ICTY dapat mengambil
alih perkara yang diperiksa pengadilan nasional jika:
1
ICTY berpendapat bahwa kejahatan
yang diadili masuk yurisdiksi ICTY;
2
Proses pengadilan nasional tidak
bebas;
3
Pengadilan nasional digunakan
untuk melindungi terdakwa dari tanggungjawab melakukan kejahatan internasional;
Pengadilan Pidana Internasional untuk Bekas Yugoslavia (International
Criminal Tribunal for the former Yugoslavia(ICTY)) adalah sebuah
badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
yang didirikan untuk mengadili para penjahat perang di Yugoslavia.
Pengadilan atau tribunal ini berfungsi sebagai sebuah pengadilan ad-hoc yang merdeka dan
terletak di Den Haag, Belanda. Badan
ini didirikan oleh Resolusi 827 dari Dewan Keamanan PBB, yang diluncurkan pada
tanggal 25
Mei 1993.
Badan ini memiliki yurisdiksi mengenai beberapa bentuk kejahatan yang dilakukan
di wilayah mantan negara Yugoslavia semenjak 1991: pelanggaran
berat Konvensi Jenewa 1949,
pelanggaran undang-undang perang, genosida,
dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Badan ini hanya bisa mengadili orang secara pribadi dan bukan organisasi atau
pemerintahan. Hukuman maksimum adalah penjara seumur hidup. Beberapa negara telah
menanda-tangani perjanjian dengan PBB mengenai pelaksanaan hukuman ini. Vonis
terakhir dijatuhkan pada 15 Maret 2004. Badan ini memiliki tujuan untuk mengakhiri semua sidang
pada akhir 2008 dan
semua kasus banding pada 2010.[2]
1.2.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Yurisdiksi Mahkamah?
2.
Seperti Apa Struktur Organisasi
Dan Pemeriksaan Perkara Di Hadapan Mahkamah?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Yurisdiksi Mahkamah
Mengenai yuridiksi personalnya, Mahkamah hanya berwenang mengadili
orang perorangan atau individu-individu saja. Tegasnya adalah orang atau
individu yang terlibat sesuai perananya masing-masing dalam peristiwa yang
terjadi di bekas Yugoslavia. Hal ini ditegaskan lagi dalam Pasal 6 yang
menyatakan, bahwa Mahkamah memiliki yuridiksi atas orang-perorangan atau
pribadi alamiah (natural persons)
sebagaimana ditentukan dalam Statutanya. Yuridiksi personal ini bersifat
individual, maksudnya bahwa orang tersebut bertanggung jawab sebagai individu,
tanpa memandang apaapun status atau kedudukannya di dalam Negara bekas
Yugoslavia. Apakah sebagai kepala Negara, kepala pemerintah, sebagai pajabat
militer ataupun sipil, sebagai atasan ataupun bawahan, sebagai orang yang
merencanakan, memerintahkan, melaksanakan, atupun sebagai orang yang bertindak
melaksanakan perintah atasnnya. Secara lebih rinci dan limitatif, hal ini
ditegaskan dalam Pasal 7 Statuta.
Sedangkan yuridiksi temporalnya adalah peristiwa yang terjadi mulai
tanggal 1 Januari 1991 ( Pasal 8) tetapi tidak ditegaskan batas waktu
terakhirnya, tegasnya sesampai kapankah waktu terakhir. Tiadanya ketegasan
tentang batasan waktu terakhir itu relative sukar untuk menetapkan.meningat
peperangan ataupun akibatnya biar saja terus terjadi walupun perang itu sudah
dinyatakan berakhir atau boleh jadi masih ada pelaku kejahatan dalam kasus
Rwanda tersebut yang melarikan diri dan sedang dalan pencarian yang jika
tertangkap akan diadili oleh Mahkamah dengan tidak adanya penetapan batas waktu
terakhir,maka Mahkamah tetap akan memiliki yuridikasi temporal atau peristiwa
yang merupakan kelanjutan dari perang saudara bekas Yugoslavia tersebut. Jadi,
Mahkamah tidak terkait oleh batas waktu terakhir, sehingga Mahkamah lebih fleksibel
dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.
Yuridiksi territorial Mahkamah meliputi wilayah bekas Yugoslavia .
Secara lebih tegas dinyatakan dalam Pasal 8, bahwa yuridiksi territorial
Mahkamah meluas dari wilayah bekas Republik Federasi Yugoslavia, Termasuk
permukaan daratnnya, ruang udara, dan perairan territorial. Meskipun sudah
ditegaskan batas -batas yuridiksi teritorialnya, dalam praktinya tentu saja ada
peristiwa -peristiwa yang terjadi di area yang disebutkan diatas, ada yang
meluas ke luar wilayah tersebut, misalnya meluber ke wilayah Negara tetangga di
sekatarnya atau zona ekonomi ekslusif ataupun daerah lepas. Ditinjau dari segi
tempat atau teritorialnya, peristiwa criminal semacam itu tidak dapat dipisah
-pisahkan, ataupun yang terjadi di dalam wilayah dengan yang terjadi diluar
wilayahnya, maka semua peristiwa tersebut harus dipandang sebagai satu kesatuan
terjadinya. Yakni semuanya dengan terjadi di dalam wilayah bekas Yugoslavia.
Menurut Pasal 1 Statuta, kompetensi Mahkamah adalah atas pelanggaran
serius hukum humaniter internasional (perfect
voilotions of internasional humanitarian law). Adapun ruang lingkup dari
hukum humaniter internasional yang dilanggar tersebut yang menjadi yuridiksi
criminal Mahkamah meliputi empat jenis kejahatan, yakni, pelanggaran berat atas
Konvensi-konvesi Jenewa 1949 (grave
breaches of the Geneva Conventions of 1949) (Pasal 2 Statua). Pelanggaran atas hokum atau kebiasaan perang (violations of law a custom of war)
(Pasal 3).genosida (genocide) (Pasal
4) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes
agains humanity) (Pasal 5). Pasal-pasal itu juga menegaskan cakupan dari
masing -masing kejahatan tersebut.
Selain dari keempat yuridiksi tersebut di atas, ada lagi yurikdisi
lainnya, yakni yuridiksi bersama (concurent
jurisdiction) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 9 ayat 1 dan 2 yang
dimaksudkan dengan yuridiksi bersama seperti ditegaskan dalam Pasal 9 ayat 2
adalah,yuridiksi personal,temporal,teritorial ataupun kriminal terhadap
pelanggaran serius atas hukum humaniter internasional yang meliputi empat jenis
kejatahan tersebut,di samping tunduk pada yuridiksi Mahkamah juga tunduk pada
yuridiksi Mahkamah yang pada lain pihak juga tunduk pada yuridiksi dari
pengadilan nasional dari satu atau lebih Negara. Jadi, terjadi semacam
pertautan antara yuridiksi Mahkamah
dengan yuridiksi pengadilan nasional dari satu atau lebih Negara.
Jika terjadi hal semacam ini, maka menurut Pasal 9 ayat 2.Mahkamah
memiliki proritas utama atas pengadilan-pengadilan nasional untuk mengadili terkadwa. Persoalnnya, boleh
jadi memiliki yuridiksi ,sehingga timbul pertanyaan, bagaimana cara membawa dan
mengajukan orang yang bersangkutan ke depan Mahkamah ? Dalam hal ini, menurut
Pasal 9 ayat 2, Mahkamah dapat melakukan
permohonan secara formal kepada pengadilan nasional supaya menyerahkan kepada
kewenangan Mahkamah sesuai dengan ketentuan Statua maupun Hukum Acara dan
Pembuktian dari Mahkamah.
Persoalan akan timbul, jika pengadilan nasional menolak permohonan
Mahkamah dan bermaksud akan mengadili sendiri orang yang bersangkutan sesuai
dengan hukum nasionalnya.Tidak ada jalan lain bagi Mahkamah, selain dari pada
menghormat keputusan dari Negara yang pengadilan akan mengadili sendiri orang
tersebut, sebab hal ini merupakan perwujudan kedaulatannya. Mahkamah harus
merelakan dan memberikan pengadilan nasional itu sendiri mengadili orang
tersebut serta menghormatai putusan yan diambilnya.Sudag barang tentu dengan
syarat,yakni,proses peradilan nasional tersebut berlangsung secara fair,adil
dan tidak memihak.
Akan tetapi seandainya masayrakat internasional ataupun Mahkamah
berpendapat bahwa proses peradilan nasional itu berlangsung secara tidak
fair,tidak adil dan berpihak ataupun putusnya tidak memuaskan rasa keadilan
masyarakat internasional. Upaya apa yang dapat ditempuh oleh Mahkamah ataupun
masyarakat internasional ? Jawaban atas masalah ini,secara tidak langsung dapat
dijumpai dalam Pasal 10 ayat 1, 2, dan 3 Statuta yang berkenaan dengan
penerapan atas non/ne bis in idem. Menurut Pasal 10 ayat 1, tidak ada seseorang
pun dapat diadili di hadapan badan pengadilan nasional atas perbuatannya yang
tergolong sebagai pelanggaran serius atas hukum humaniter internasional menurut
statuta ini, apabila dia sudah diadili oleh Mahkamah. Ketentuan ini memang sudah seharusnya seperti ini, sebagai
perwujudan dari asas non / ne bis in idem sebagaimana yang sudah umum di kenal.
Yang justru penting untuk
diperhatikan adalah Pasal 10 ayat 2. Sebab ketentuan ini merupakan
pengesampingan atas asas non/ne
bis in idem. Bahwa seseorang yang
sudah diadili di hadapan badan pengadilan nasionalatasperbuatannya
yang merupakan pelanggaran serius atas perbuatannya yang
merupakan pelanggaran serius atas hukum
humaniter internasional menurt Statuta, sesudahnya dapat
diadili di hadapanMahkamah jika :
a)
Kejahatan
yang dijadikan dasar untuk mengadilioleh pengadilan nasional suatu Negara yang sebenarnya
merupakan pelanggaran serius atas hokum humaniter internasional ternyata kejahatan itu digolongankan
sebagai kejahatan biasa: atau
b)
Proses
peradilan nasioanl tersebut ternyata berlangsung
secara memihak( notimparsial ) atau
tidak mandiri ( not independent ),
dengan maksud untuk menghindarkan si tertuduh/terdakwa daritanggungjawab criminal internasional.
Akhir Pasal 10 Ayat 3 mengamanatkan kepada
Mahkamah dalam menjatuhkan hukuman atas orang yang sudah di adili oleh
pengadilan nasional suatu negara sebagaimana Pasal 10 Ayat 2. Adapun amanat
tersebut tersebut adalah, dalam mempertimbangkan penjatuhan hukuman terhadap
orang yang bersangkutan, Mahkamah seyogyanya memperhitungkan luasnya hukuman
yang telah dijatuhkan oleh pengdilan nasional terhadap orang yang bersangkutan
dan telah dijalaninya. Sebagai contoh, seseorang yang sudah diadili dan
dijatuhi hukuman penjara oleh pengadilan nasional dan hukuman itupun sudah
dijalaninya selama beberapa waktu. Kemudian dia di adili lagi oleh Mahkamah, di
sebabkan karena alasan seperti tersebut diatas, maka dalam hal ini Mahkamah
dalam menjatuhkan hukumannya harus mempertimbangkan dan memperhitungkan masa
hukuman yang sudah dijalani nya berdasarkan putusan pengadilan nasional
tersebut. [3]
2.2.Struktur Organisasi dan Pemeriksaan Perkara Di Hadapan Mahkamah
Mahkamah terdiri dari 16 orang hakim tetap dan tidak boleh
ada dua atau lebih yang berkewarganegaraan dari negara yang sama. Keenam belas
hakim tetap tersebut, sembilan orang menjadi anggota Kamar Peradilan (Trial
Camber). Kamar Peradilan ini terdiri dari Tiga Kamar Pengadilan. Jadi
masing-masing Kamar Pengadilan terdiri dari tiga orang hakim tetap. Sedangkan
sisanya, sebanyak tujuh orang hakim tetap tersebut menjadi anggota dari Kamar
Banding (Appeal Chamber). Adanya tiga kamar Pengadilan ini yang
mengadili perkara pada tingkat pertama, disebabkan karena banyaknya jumlah
orang atau individu yang harus di adili.
Para hakim terdiri dari individu-individu yang bermoral
tinggi, bersikap tidak memihak, dan memiliki integritas diri yang tinggi, yang
telah memenuhi kualifikasi di negaranya masing-masing untuk diangkat sebagai
pemegang jabatan pengadilan yang tertinggi. Untuk dapat menduduki jabatan
sebagai hakim, individu yang bersangkutan harus memiliki pengalaman sebagai
hakim dalam hukum pidana, hukum internasional, termasuk hukum humaniter
internasional dan hukum hak asasi manusia (Pasal 3 Statuta).
Selain dari pada Kamar Pengadilan dan Kamar Banding,
Makamah juga memiliki organ lain yakni Jaksa Penuntut (Prosecutor)
sebagai organ independent yang bertugas dan bertanggung jawab dalam melakukan
penyidikan dan penuntutan terhadap orang-orang yang bertanggung jawab atas
pelanggaran serius hukum humaniter internasional yang dilakukan diwilayah bekas
Yugoslavia sejak tanggal 1 Januari 1991 (Pasal 16 ayat 1). Jaksa Penuntut akan
bertindak secara mandiri terpisah dari organ-organ Mahkamah yang lainnya (Pasal
16 ayat 2). Jaksa penuntut ditunjuk oleh Dewan Keamanan atas nominasi dari
sekertaris Jendral PBB. Dia harus memiliki karakter moral yang tinggi, dan
harus memiliki kewenangan yang tertinggi dan pengalaman dalam melakukan
penyidikan dan penuntutan kasus-kasus kriminal. Jaksa Penuntut diangkat untuk
masa jabatan 4 tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali.
Organ lainya adalah kenapiteraan (registry) yang
bertanggung jawab dalam masalah-masalah admisnitrasi dan pelayanan bagi
Mahkamah. Kepaniteraan terdiri dari seorang Panitera dan dibantu oleh staf
sesuai dengan kebutuhanya. Panitera ditunjuk oleh sekertaris Jendral PBB
setelah berkonsultasi dengan Ketua Mahkamah untuk masa jabatan empat tahun dan
sesudahnya dapat ditunjuk kembali. Sedangkan stafnya ditunjuk oleh Sekertaris
Jendral PBB setelah mendapat rekomendasi dari Panitera. Semua ini ditegaskan
dalam Pasal 17.
Menurut Pasal 18 ayat 1, jaksa penuntut berinisiatif untuk
melakukan penyelidikan secara ex-officio atau berdasarkan atas informasi
yang diterimanya dari pelbagai sumber, khususnya dari pemerintah pelbagai
negara, organ-organ PBB, organisasi-organisasi antar pemerintah maupun non
pemerintah. Jaksa Penuntut juga memiliki kekuasaan untuk mengajukan pertanyaan
kepada orang yang dituduh, korban-korban maupun saksi-saksi, demikian juga
untuk mengumpulkan alat-alat bukti dan melakukan pemeriksaan ditempat. Dalam
melaksanakan tugasnya, Jaksa Penuntut dapat meminta bantuan dari pejabat
pemerintah negara yang bersangkutan (Pasal 17 ayat 2).
Apabila dipandang perlu, si terdakwa dapat dibantu oleh
suatu tim asistensi atas pilihannya sendiri, temasuk hak untuk mendapat bantuan
hukum yang ditunjuk demi kepentingannya tanpa kewajiban untuk membayarnya atau
secara cuma-cuma, apabila dia tidak mampu membayarnya sendiri, seperti misalnya
penerjemahan dokumen atau informasi-informasi ke dalam bahasa yang dia mengerti
(Pasal 17 ayat 3). Apabila Jaksa Penuntut memandang semuanya sudah memadai
untuk melakukan penuntutan, maka Jaksa Penuntut akan menyiapkan surat dakwaan
yang berisi pernyataan singkat mengenai fakta dan kejahatan dan yang dituduhkan
terhadapnya berdasarkan Statuta ini. Surat Dakwaan harus diteruskan kepada
hakim dari Kamar Pengadilan.[4]
A. Pemeriksaan Perkara di Hadapan Kamar Pengadilan
Hakim Kamar Pengadilan setelah
menerima surat dakwaan tersebut dari Penuntut, akan melakukan peninjauan ulang
atas surat dakwaan itu. Jika dipandang sudah mencukupi, dia akan
menginformasikannya kepada Jaksa Penuntut. Sebaliknya jika dipandang belum
mencukupil surat dakwaan itu akan dikesampingkan (dismissed) (Pasal 19
ayat 1). Berdasarkan konfirmasi atas surat dakwaan tersebut, atas dasar
permohonan dari Jaksa Penuntut, hakim Kamar Pengadilan mengeluarkan perintah
penangkapan, penahanan, penyerahan atau pemindahan orang-orang yang bersangkutan
dan tindakan-tindakan lainya yang dibutuhkan dalam rangka melakukan
peradilannya (Pasal 19 ayat 2).
Selanjutnya Pasal 20 ayat 1, 2, 3 dan 4 mengatur tentang proses
peradilannya sendiri. Menurut ayat 1, Kamar Pengadilan akan menjamin, bahwa
peradilan akan berlangsung secara fair dan tidak memihak, dan proses tersebut
dilakukan dengan berdasarkan pada peraturan-peraturan hukum acara dan
pembuktian, dengan penghormatan sepenuhnya atas hak-hak dari terdakwa serta
dengan tetap melindungi para saksi dan korban. Orang-orang yang telah
diberitahukan mengenai surat dakwaan tersebut, sesuai dengan surat perintah
penangkapan dan penahanan yang
dikeluarkan oleh Mahkamah, harus ditempatkan dalam penjagaan, dan segera harus
diberitahukan tuduhan yang didakwakan terhadapnya, dan diserahkan kepada
Mahkamah (ayat2). Kamar Pengadilan kemudian membacakan surat dakwaan, dengan
terlebih dahulu memeriksa apakah hak-hak terdakwa sudah mengerti isi dakwaan,
dan selanjutnya memerintahkan kepadanya untuk menyiapkan pembelaan. Kamar
Pengadilan kemudia menetapkan jadwal persidangan (ayat 3). Persidangan
berlangsung secara terbuka untuk umum kecuali Kamar Pengadilan memutuskan
sidang dilangsungkan secara tertututp sesuai dengan hukum acara dan pembuktian.
Dalam Pasal 21 ditegaskantentanghak-hakdariterdawa.Pada ayat 1
ditegaskan bahwa semua orang (maksudnya :terdakwa, saksi, korban, atau siapapun
yang terkait dengan perkara) memiliki hak yang sama di hadapan Mahkamah. Pada
ayat2 di tegaskan tentang hak terdakawa bahwa dia ajan di jamin haknya atas
peradilan yang fair baikdalam proses
peradilan maupun dalam dengar pendapat umum, dengan tetap menghormati ketentuan
Pasal 22 yang mengatur tentang perlindungan atas korban dan saksi. Ayat 3
menegaskan tentang haknya untuk dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya
dapat dibuktikan sesuai dengan ketentuan dalam Statuta( presumption of innocence )
Dalam pasal 21 ayat 4, secara rinci
ditegaskan tentang jaminan perlakuan yang secara minimum harus dipenuhi bagi
terdakwa, dalam kedudukan yang
sepenuhnya sama atau sederajat, yakni :
a)
Jaminan
atas informasi yang memadai dan
secara ranci dalam bahasa yang dapat dimengertinya mengenai hakikat dan sebab-sebab
mengapa dia didakwa.
b)
Jaminan
yang berupa waktu dan sarana
atau fasilitas yang memadai dan
dibutuhkan dalam rangka mempersiapkan pembelaannya dan melakukan komunikasi dengan penasihat hukum yang dipilihnyasendiri.
c)
Jaminan
untuk di adili tanpa
di tunda tunda denganalasan yang
tidak masuk akal
d)
Jaminan
untuk diadili berdasarkan atas kehadirannya sendiri, dan
untuk mengajukan pembelaan
diri baik oleh dirinya sendiri
atau melalui bantuan hokum dari penasihat hukum yang dipilihnya sendiri atau diberikan informasi atau penjelasan atas haknya untukmemperoleh
bantuan hokum apabila dia tidak
menunjukan sendiri penasihat hukumnya atau dalam suatu kasus yang karena demi keadilan mengharuskanya, dia harus
di dampingi oleh
penasihat hukum
tanpa harus dibayarnya sendiri, jika dia memangti dak memiliki
cukup uang untuk membayar sendiri :
e)
Memeriksa
saksi-saksi yang memberatkan ataupun meringkasnya berdasarkan
persyaratan yang sama antra saksi-saksi
yang meringankan ataupun memberatkannya.
f)
Mendapatkan
jaminan atas bantuan penerjemah jika dia tidak mengerti atau tidak bisa berbicara
dalam bahasa yang digunakan oleh
mahkamah dan :
g)
Jaminan
untuk tidak dilakukan pemaksaan selama dalam pemeriksaan atau di paksa untuk mengaku bersalah
Dalam pasal 22 diatur tentang perlindungan bagi korban maupun saksi ,
dengan menyatakan bahwa mahkamah bedasarkan hukum acara dan pembuktianya akan
mengatur tentang perlindungan bagi korban maupun saksi. Perlindungan itu
termasuk, tetapi tidak terbatas pada, perlakuan dalam pemeriksaan di hadapan
pengadilan dan perlindungan atas identitas dari korban
Tentang putusan yang dijatuhkan oleh kamar pengadilan ditegaskan dalam
pasal 23 ayat 1 dan 2 yang masing –masing menyatakan, bahwa kamar pengadilan
akan mengumumkan putusanya dan menjatuhkan penghukumanya terhadap si terdakwa
yang di tuduh sebagai pelaku pelanggaran serius atas hukum humaniter
internasional. Putusan akan di ambil berdasarkan saran menyoritas dari para
hakim kamar pengadilan dalam sidang yang terbuka untuk umum, putusanya harus
disertai dengan argumentasi yang rasional dalam bentuk tertulis sedangkan jika
ada hakimnya yang memiliki pendapat yang berbeda ( dissenting opinion ),
pendapat nya itu akan dilampirkan dalam putusanya.
Sedangkan saksi pidana yang dapat dijatuhkan dibatasi pada hukuman
kurang (imprisonment). Namun dalam menentukan lamanya masa hukuman, kamar
pengadilan harus mengacu pada praktik-praktik yang sudah berlaku umum dan
berkenaan dengan penghukuman seorang terdakwa dalam pengadilan di negara bekas
Yogaslavia. Kurungan tersebut bisa saja dari yang paling ringan hingga dengan
adanya ketentuan ini, secara tersimpul mahkamah menolak jenis jenis hukuman
atau sanksi-sanksi pidana yang lainya, seperti denda. Hukuman paksa badan atau
hukuman kerja itu secara tersimpul mahkamah juga menolak penerapan hukuman mati
yang kini memang sudah ditinggalkan oleh pelbagai negara, khusnya negara negara
benua Eropa.
Pada ayat 2 ditegaskan, bahwa kamar pengadilan dalam menjatuhkan
hukuman seyogyanya mempertimbangkan faktor- faktor yang meringankan perbuatanya
dan keadaan-kedaan sekitar pribadi dari orang yang di hukum tersebut. Selain
daripada itu. Dalam penghukuman tersebut. Kamar pengadilan dapat memerintahkan
pengembalian atas barang-barang yang berkaitan dengan perkara tersebut kepada
yang berhak. Ketentuan ini merupakan ketentuan yang sudah berlaku umum di dalam
hukum nasionakl negara-negara di dunia, khusunya sebagimana dapat di jumpai di
dalam ketentuan-ketentuan hukum acara pidana dan pembuktian.[5]
B.
Pemeriksaan Perkara Pada Tingkat
Banding Di Hadapan Kamar Banding
Jika ada pihak yang tidak puas dan tidak bisa menerima putusan dari
kamar pengadilan, apakah ataukah jaksa penuntut dapat mengajukan banding kepada
kamar banding. Pasal 25 ayat 1 menegaskan. Kamar banding akan mendengar
keterangan dari terdakwa yang telah dijatuhi hukuman oleh kamar pengadilan
ataupun jaksa penuntut. Yang berkenaan degan alasan untuk mengajukan banding.
Yakni :
·
Adanya kesalahan mengenai masalah
hukumnya yang dijadikan sebagai alasan untuk menyatakan bahwa putusan tidak sah
·
Adanya kesalahan mengenai fakta
yang mengakibatkan terjadinya kesalahan dari peradilan. Kamar banding dalam
mengambil putusanya, dapat menguatkan putusan dari kamar pengadilan, mengubah
ataupun memperbaiki putusan dari kamar pengadilan ( ayat 2 ) [6]
C.
Peninjauan Kembali Oleh Mahkamah
Putusan dari kamar banding masih dapat dilakukan pertinjuan kembali
oleh mahkamah permohonan untuk melakukan peninjauan kembali secara khusus dapat
diajukan baik oleh terdakwa ataupun jaksa penuntut. Adapun alasan untuk
melakukan peninjuan kembali adalah, adanya faktor yang sangat menentukan yang
sebelumnya tidak diketahui dan karena itu tidak dapat diajukan ketika dalam
proses persidangan di hadapan sidang kamar pengadilan ataupun kamar banding.
Faktor yang sangat menetukan tersebut adalah faktor yang mempengaruhi putusan
yang diambil andaikata faktor tersebut diketahui sebelumnya di ajukan di
hadapan sidang kamar pengadilan ataupun kamar bandimg, dapat dipastikan
putusanya tidaklah demikian, bahwa justru sebaliknya. Hal ini di atur dalam
pasal 26.
Dalam statuta tidak di atur tentang masalah yang lebih bersifat teknis,
seperti, bagaimana permohonanya, waktu atau kapan pengajuan peninjuan kembali
dapat dilakukan, bagaimana proses pemeriksaan alat bukti yang menjadi faktor
yang sangat menetukan tersebut, dan lain lainya. Tidak adanya pengaturan ini
dalam statua, dapat diartikan bahwa mahkamah akan mengatur sendiri di dalam
hukum acara pembuktianya yang memang kewarganerannya di serahkan sepenuhnya
kepada mahkamah.
Dengan adanya tiga tingkatan dalam pemrikdaan perkara dalam mahkamah
(kamar pengadilan, kamar banding, dan pertinjuan kembali) akan sangat kecil
kemungkinannya mahkamah akan salah atau keliru dalam mengadili seseorang
terdakwa. Hal ini sekaligus juga menujukan keadilan bagi terdakwa, bahwwa
terdakwa benar benar sudah di priksa perkaranya melalui tingkatan -tingkatan
yang pada hakikatnya sebagai kontrol atas organ organya, supaya benar- benar
menerapkan hukum yang berlaku secara adil, fair, dan tidak memihak [7]
D. Pelaksanaan Putusan Mahkamah
Menurut pasal 27, jika mahkamah menjatuhkan putusan yang berupa
penghukuman atas terdakwa dan putusan itu sudah memiliki kekuatan mengikat yang
pasti, putusan akan dilaksanakan di negara yang ditunjuk oleh mahkamah dari
daftar negara negara yang telah menyatakan kesediaanya melaksanakan hukuman
yang telah dijatuhkan oleh mahkamah. Negara negara itu ditunjuk oleh dewan
keamanan PBB berdasarkan pernyataan kesedianya masing- masing untuk menerima
pelaksanaan hukuman di negaranya atas individu-individu yang telah dijatuhi
hukuman oleh mahkamah. Namun demikian, negara mana yang di pilih atau ditunjuk
oleh mahkamah, mahkamah memiliki kewenangan penuh untuk menentukan negara yang
di maksud, sudah tentu dengan mempertimbangkan berbagai faktor, misalnya. Orang
yang bersangkutan akan lenih baik untuk melaksanakan hukumanya di negara yang
bertetangga dengan negara asalnya untuk menjenguknya, atau dengan
mempertimbangkan dari sisi aspek sosial budanya, seperti bahasa kebudayaan dari
si terhukum dengan bahasa dan kebudayaan dari negara yang akan melaksanakan
hukumanya, misalnya akan lebih baik jika negara adalah negara yang bahasa dan
budayanya sama atau mendekati dengan bahasa danb buaya si terhukum. Pelaksanaan
hukuman dari negara yang bersangkutan. Meskipun pelaksanaan hukumanya di suatu
negara namun mahkamah tetap akan melakukan pengawasan atas pelaksanaan
hukumanya itu. [8]
BAB III
KESIMPULAN
Yuridiksi Mahkamah hanya berwenang mengadili orang perorangan atau
individu -individu. Maksudnya adalah orang atau individu yang terlibat sesuai
perananya masing – masing dalam
peristiwa yang terjadi di bekas Yugoslavia. Hal ini ditegaskan lagi dalam Pasal
6 yang menyatakan, bahwa Mahkamah memiliki yuridiksi atas orang-perorangan atau
pribadi alamiah (natural persons)
sebagaimana ditentukan dalam Statutanya. Yuridiksi personal ini bersifat
individual, maksudnya bahwa orang tersebut bertanggung jawab sebagai individu, tanpa
memandang apa apun status atau kedudukannya di dalam Negara bekas Yugoslavia.
Sedangkan yuridiksi temporalnya adalah peristiwa yang terjadi mulai tanggal 1
Januari 1991 ( Pasal 8) tetapitidak ditegaskan batas waktu terakhirnya, tegasnya
sesampai kapankah waktu terakhir.Y uridiksi territorial Mahkamah meliputi
wilayah bekas Yugoslavia .Secara lebih tegas dinyatakan dalam Pasal 8,bahwa
yuridiksi territorial Mahkamah meluas dari wilayah bekas Republik Federasi
Yugoslavia,Termasuk permukaan daratnnya,ruang udara,dan perairan territorial.
Menurut Pasal 1 Statuta, kompetensi Mahkamah adalah atas pelanggara
serius hukum humaniter internasional (perfect
voilotions of internasional humanitarian law). Ruang lingkup dari hukum
humaniter internasional yang dilanggar tersebut yang menjadi yuridiksi criminal
Mahkamah meliputi empat jenis kejahatan, yakni, pelanggaran berat atas Konvensi
– konvesi Jenewa 1949 (grave breaches of the Geneva Conventions of
1949) (Pasal 2 Statua).Pelanggaran
atas hokum atau kebiasaan perang (violations
of law a custom of war) (Pasal 3). Genosida (genocide) (Pasal 4) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes agains humanity) (Pasal 5).Pasal-pasal
itu juga menegaskan cakupan dari masing – masing kejahata
tersebut.Selain dari keempat yuridiksi tersebut di atas,ada lagi yurikdisi
lainnya,yakni yuridiksi bersama (concurent
jurisdiction) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 9 ayat 1 dan 2 yang
dimaksudkan dengan yuridiksi bersama seperti ditegaskan dalam Pasal 9 ayat 2
adalah, yuridiksi personal, temporal, teritorial ataupun kriminal terhadap
pelanggaran serius atas hukum humaniter internasional yang meliputi empat jenis
kejatahan tersebut, di samping tunduk pada yuridiksi Mahkamah juga tunduk pada
yuridiksi Mahkamah yang pada lain pihak juga tunduk pada yuridiksi dari
pengadilan nasional dari satu atau lebih Negara.
Persoalan akan timbul, jika pengadilan nasional menolak permhonan
Mahkamah dan bermaksud akan mengadili sendiri orangyang bersangkutan sesuai
dengan hukum nasionalnya. Menurut Pasal 10 ayat 1, 2, dan 3 Statuta yang
berkenaan dengan penerapan atas non/ne bis inidem. Menurut Pasal 10 ayat 1, tidak
ada seseorang pun dapat diadili di hadapan badan pengadilan nasional atas
perbuatannya yang tergolong sebagai pelanggaran serius atas hokum humaniter
internasional menurut statuta ini, apabila dia sudah diadili oleh Mahkamah. Ketentuan
ini memang sudah seharusnya seperti ini,sebagai perwujudan dari asas non / ne
bis in idem seabagaimana yang sudah.
Adapun Struktur Organisasi dan Pemeriksaan Perkara Di Hadapan Mahkamah :
Mahkamah terdiri dari 16 orang hakim tetap dan tidak boleh ada dua atau
lebih yang berkewarganegaraan dari negara yang sama. Keenam belas hakim tetap
tersebut, sembilan orang menjadi anggota Kamar Peradilan (Trial Camber).
Kamar Peradilan ini terdiri dari Tiga Kamar Pengadilan. Jadi masing-masing
Kamar Pengadilan terdiri dari tiga orang hakim tetap. Sedangkan sisanya,
sebanyak tujuh orang hakim tetap tersebut menjadi anggota dari Kamar Banding (Appeal
Chamber). Adanya tiga kamar Pengadilan ini yang mengadili perkara pada
tingkat pertama, disebabkan karena banyaknya jumlah orang atau individu yang
harus di adili.
Tahapan
pemeriksaan Surat dakwaan
A. Pemeriksaan Perkara di Hadapan Kamar Pengadilan
B.
Pemeriksaan Perkara Pada Tingkat
Banding Di Hadapan Kamar Banding
C.
Peninjauan Kembali Oleh Mahkamah
D. Pelaksanaan Putusan Mahkamah
Daftar Pustaka
Buku-Buku
I Wayan Parthiana,
Hukum Pidana Internasional, Yrama Widya, 2015
Internet
[1]http://arlialdila26.blogspot.co.id/2013/10/international-criminal-tribunal-for-for.html
Diakses Hari Rabu Tanggal 7 Desember 2016 Pukul 16:30 Wib
[2]https://id.wikipedia.org/wiki/Pengadilan_Pidana_Internasional_untuk_Bekas_Yugoslavia
Diakses Hari Rabu Tanggal 7 Desember 2016 Pukul 17:49 Wib
[3] I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional, Yrama Widya, 2015 h
340-344
[4] Ibid h 344-346
[5]Ibid h 346-349
[6] Ibid h 349-350
[7] Ibid h 350-351
[8] Ibid h 351
Komentar
Posting Komentar